Tingkat Kekerasan pada Perempuan dan Anak di Jawabarat Masih Tinggi

Foto : Netty Heyawan (tengah), tingkat kekerasan anak dan perempuan meningkat tajam pada kurun waktu 6 tahun terakhir (2011-2015).

SUKABUMIheadlineJabar.com

Trend kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Jawa Barat setiap tahunnya relatif meningkat. Dalam kurun lima tahun terakhir terhitung 2011-2015, jika dikumulatifkan jumlahnya mencapai 532 kasus. 

“Jika kita cermati, kasus KDRT yang di dalamnya termasuk kekerasan anak dan perempuan, jumlahnya meningkatkan tajam sekali. Pada 2015 saja, kekerasan anak sebanyak 79 kasus, KDRT sebanyak 28 kasus, dan human trafficking sebanyak 21 kasus. Dalam kurun lima tahun terakhir dijumlahkan mencapai 523 kasus,” kata Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Jawa Barat Netty Prasetyani Heryawan kepada wartawan seusai menghadiri kegiatan pertemuan PKK dan Dharma Wanita se- wilayah Bogor di Gedung Juang, Jalan Veteran, Kota Sukabumi, Jawa Barat, .Rabu (17/2/2016).

Baca Juga  Kebijakan Umum dan Prioritas APBD Perubahan 2021 Disepakati

Data tersebut berasal dari laporan setiap kota dan kabupaten di Jawa Barat. Jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga trennya ‘mengalahkan’ kasus human trafficking. “Meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga itu karena stigma di masyarakat yang mengategorikan sebagai hidden crime. Hal itu merupakan urusan domestik rumah tangga jadi banyak yang tidak peduli,” terang Netty. 

Faktor utama terjadinya kekerasan dalam rumah tangga lebih karena terjadinya penelantaran orangtua terhadap anak. Mereka tidak mengetahui cara menjalankan peran dan fungsi orangtua sebagaimana mestinya. “Apalagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga termasuk di dalamnya kekerasan terhadap anak hampir 70% keluarga sendiri atau orang terdekat, 20% merupakan tetangga atau lingkungan, dan 10% merupakan orang tak dikenal. Ini artinya, setiap orang bisa berpotensi jadi pelaku maupun korban kekerasan,” bebernya.  

P2TP2 Provinsi Jawa Barat konsen dengan berbagai penanganan kasus-kasus yang dialami perempuan dan anak. Karena itu, P2TP2A tak bosan-bosannya memberikan wawasan cara membangun kesadaran dan keahlian orangtua (parenting skill). “Bagaimana orangtua itu bisa merevitalisasi peran dan fungsi keluarga. Jangan sampai peran dan fungsi mereka tergantikan oleh pola-pola pengasuhan melalui televisi maupun alat komunikasi lain yang dikhawatirkan bisa memicu anak-anak mereka terjebak pergaulan bebas, seks berisiko, HIV/AIDS, maupun narkoba,” jelas Netty.       

Baca Juga  Dedi Mulyadi : Kalau Tokoh Agama Berseteru, Siapa Jadi Penengah?

Selain parenting skill, kata Netty, yang perlu diperhatikan adalah menyiapkan di titik hilir upaya penanganan traumatic terhadap anak-anak korban kekerasan. Perlu ada upaya mencegah agar anak-anak korban kekerasan nantinya tidak bermetamorfosis menjadi pelaku apa yang pernah dialaminya. “Jangan sampai 15 tahun-20 tahun mendatang, anak-anak korban kekerasan bermetamorfosis menjadi pelaku. Ini harus diantisipasi tidak dalam waktu satu atau dua bulan. Harus ada pemantauan lebih intensif untuk memulihkan trauma,” ungkapnya. 

Baca Juga  LGBT Tidak Kalah Berbahaya Dari Narkoba

Netty menambahkan menurunnya tren kasus human trafficking di Jawa Barat sangat linier dengan makin tingginya kesadaran masyarakat. Apalagi ditambah dengan kesiapan dan kesigapan aparat penegak hukum yang semakin baik. “Sehingga kasusnya cenderung menurun. Kita menginisiasi adanya upaya preventif dan promotif,” pungkasnya.  

Wali Kota Sukabumi Mohamad Muraz menyatakan pentingnya peran keluarga menyikapi berbagai fenomena sosial saat ini. Salah satunya fenomena Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). “Ketahanan keluarga sangat penting, yakni bagaimana sebuah keluarga ini bisa membina rumah tangga dengan lebih baik. Misalnya LGBT, saya kira semua agama juga melarangnya karena tidak sesuai dengan fitrah manusia. Itu merupakan sebuah penyimpangan. Sekarang bagaimana kita mencegah agar anak-anak kita tidak terjerumus dalam komunitas itu,” tegas Muraz. (rir)