Di Balik Ritus Wukuf di Arafah

M.Muhammad Bajri,M.Ag
Dosen Sosiologi Agama Sekolah Tinggi Agama Islam Al Muhajirin
Alumni Program Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Beberapa hari lagi calon jemaah haji di seluruh dunia akan bergerak ke arafah  yang merupakan salah satu puncak ibadah haji,tanpa wukuf di arafah maka hajinya tidak sah.Untuk mencapai puncak ibadah haji, maka jamaah haji diperintahkan wukuf di padang Arafah.

Sebagaimana perintah Rasulullah SAW, bahwa haji adalah Arafah. Di mana para jamaah haji akan diajak untuk merenung tentang dahsyatnya padang mahsyar yang pasti terjadi nanti pada hari kiamat.

Situasi yang sangat panas itu, akan menjadi bukti bahwa panasnya hari kiamat jauh melebihi panasnya alam dunia. Kita pun akan sulit untuk memungkiri bahwa kehidupan ini harus mengalami rasa panas dan kelelahan yang luar biasa. Wukuf di Arafah merupakan media yang sangat penting bagi seluruh umat manusia untuk terus bertafakur tentang kehidupan yang serba cepat ini.

Bagi manusia, kehidupan ini merupakan kehidupan yang menakutkan dan menggelisahkan, sungguh pun di dalamnya terdapat kesenangan, tetapi kesenangan ini hanya sementara dinikmati manusia.
Wukuf di Arafah juga mengajak kita dan para jamaah haji, untuk terus membuka mata batin seluas-luasnya, agar kita mampu menangkap secercah cahaya yang tersisa di tengah kegelapan malam.

Baca Juga  Nafas Lega Ekonomi Arteri Padalarang Purwakarta

Allah SWT sebagai pemilik alam semesta ini, mengajak hati seluruh umat manusia termasuk yang sedang menjalankan ibadah ritual haji, untuk bergerak menuju pusat gravitasi-Nya, dalam rangka menyalakan cahaya Allah SWT yang dengannya manusia bisa menembus dan menangkap ruh-Nya. Bukankah Allah SWT adalah cahaya di langit dan bumi?

Peristiwa puncak ibadah ritual haji mengingkatkan kita dan seluruh para jamaah haji, untuk bisa mengikuti dan meneladani ajaran monoteisme Nabi Ibrahim. Di mana pengalaman rasional dan spiritualnya, mengantarkan kepada keyakinan tentang tauhid sebagai kebenaran hakiki.

Ajaran-ajaran yang dibawa Nabi Ibrahim, adalah menjadikan dan meletakan Allah SWT sebagai pusat gravitasi umat manusia. Menjadikanya sebagai sumber kehidupan, sumber seluruh kekuataan moralitas, bahkan eksistensi Allah SWT sendiri. Tanpa bantuan dan kehadiran Allah SWT dalam kehidupan ini, akan mengakibatkan kekacauan dan kehampaan yang luar biasa.

Keyakinan yang dibawa oleh ajaran Nabi Ibrahim ini, berimplikasi langsung pada keharusan untuk terus menampakan eksistensi Allah SWT dalam kehidupan nyata, sehingga umat manusia dan dunia, dapat menyaksikan dan menikmati kehadiran Sang Pencipta alam raya ini, dalam kehidupan yang sangat teratur, harmonis, dan seimbang.

Baca Juga  Mengupas Masalah Pernikahan Dini

Berdasarkan ajaran monoteisme yang dibawa Nabi Ibarahim, Rasulullah SAW telah mengajarkan umat manusia untuk terus menyembah hanya kepada Allah SWT, menyakini-Nya sebagai Tuhan yang Maha Esa. Tiada Tuhan selain Allah SWT. Ajaran inilah yang harus dijalankan oleh seluruh umat manusia, jika menginginkan keselamatan, dan kedamaian dalam menjalani proses perjalanan hidup yang bergerak secara cepat.

Keyakinan seperti itu menunjukan, segala sesuatu yang selain Allah SWT, merupakan makhluk yang tidak memiliki hak sedikit pun untuk diperlakukan sebagai Tuhan. Dan pada saat yang sama, hal itu menggambarkan ketidakbolehan manusia untuk diperlakukan semena-mena, atau direndahkan harkat martabat kemanusiaannya. Karena manusia dihadapan Tuhan adalah sederajat. Hanya ketakwaan yang membuat manusia menjadi tinggi di hadapan Tuhannya.

Implikasi yang sangat logis dari rangkaian ibadah ritual haji adalah, munculnya tauhid sebagai nilai moral dalam kehidupan sosial. Tauhid Islam adalah akidah yang menumbuhkan moralitas proses pembebasan umat manusia. Dengan demikian, ada hubungan yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan, antara ide monoteisme pada satu sisi, dan pengembangan moral kemanusiaan universal pada sisi yang lain.

Baca Juga  HMI dan Intelektual Post-Cak Nur

Inilah makna sebenarnya tentang ibadah haji yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim. Di satu sisi, seluruh umat manusia harus meyakini dan menyembah Allah SWT sebagai pusat moralitas umat manusia, dan menjalankan segala perintah dan larangannya.

Dan di sisi lain, umat manusia harus saling menolong dan membantu, sehingga ada keterkaitaan antara misi ritual ibadah haji kepada Allah SWT dengan misi kemanusiaan. Sebab ukuran haji mabrur adalah ketika nilai-nilai ajaran Nabi Ibrahim diinternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari, setelah para jamaah haji pulang ke tempat tinggalnya masing-masing.

Mudah-mudahan para jamaah haji di seluruh dunia, termasuk Indonesia, mampu menjalankan misi Nabi Ibarahim, sehingga ibadah hajinya tidak hanya legal formalistik semata, akan tetapi nilai-nilai ritualnya bisa menyentuh pada aspek kemanusiaan dan mari  doakan saudara saudara kita yang tertimpa musibah di mesjidil harram yang meninggal dunia menjadi syuhada dan Allah mengampuni segala dosa dosanya dan diterima amal ibadahnya.