Gerhana Matahari Menurut Budayawan Dedi Mulyadi

Foto : Ilustrasi Gerhana Matahari Total

MASYARAKAT di Indonesia sempat dihebohkan dengan fenomena Gerhana Matahari Total (GMT) yang sangat jarang terjadi. Dalam bahasa Sunda fenomena GMT biasa disebut Samagaha Panon Poe yang memiliki makna dan filosofi tersendiri.

Budayawan Sunda, Dedi Mulyadi mengungkapkan, Samagaha merupakan perumpamaan kegalauan yang terjadi dalam rasa dan diri manusia yang diterjemahkan dalam peristiwa matahari, bulan, dan bumi dalam satu garis lurus.

“Ini perumpamaan galaunya matahari sebagai sumber energi (cahaya) terhalangi oleh bulan yang biasanya hanya pancaran energi,” jelas budayawan yang juga Bupati Purwakarta itu, sebagaimana berstatemen di media online nasional.

Baca Juga  Mimpi Kang Mamat untuk Purwakarta

Kegalauan itu, lanjut Dedi, menimbulkan fenomena yang luar biasa yakni bumi menjadi gelap pada siang hari padahal waktu tersebut merupakan waktu dimana matahari tengah menjadi ‘raja’ di bumi.

Lebih lanjut Dedi mengatakan, dalam kepercayaan orang sunda zaman dahulu ibu hamil diharuskan bersembunyi di kolong tempat tidur saat Samagaha terjadi. Dia menilai hal tersebut merupakan perumpamaan pemikiran leluhur untuk melindungi ibu hamil dari dampak psikologi yang ditimbulkan.

Baca Juga  Ketahuilah, Musang Bukan Merupakan Hama yang Perlu Diberantas

“Kan yang namanya orang hamil itu tidak boleh dimarahi, tidak boleh dibentak, tidak boleh dikagetkan, atau intinya harus tenang makanya sering diperdengarkan ayat suci Alquran. Nah tapi saat Samahaga terjadi orang dulu itu ketakutan kalau orang hamil pingin ngidam yang aneh-aneh, padahal orang Sunda biasanya saat Samagaha tidak pernah keluar rumah dan memilih salat dan menghindari efek buruk dari Samahaga yang terjadi di luar. Makanya tempat yang dirasa bisa bikin tenang itu perumpamaannya kolong tempat tidur,” bebernya.

Baca Juga  Ingin Jadi Bartender, Matrix Flair Solusinya

Pria yang akrab disapa Kang Dedi itu menilai mitologi tersebut merupakan bentuk kepedulian orang tua untuk melindungi para ibu hamil. “Hanya saja mungkin orang dulu tidak menjelaskannya secara ilmiah. Jadi dibuatlah mitologi atau kepercayaan seperti itu,” tukas Dedi.(dtk/dzi)